Google

Jumat, 11 April 2008

KHILAFAH PERSPEKTIF KAUM MODERNIS

KHILAFAH PERSPEKTIF KAUM MODERNIS
A. Pengantar
Secara etimologis, khilafah merupakan jabatan khalifah atau pemimpin yang melanjutkan usaha Nabi Muhammad dalam menegakan agama Islam. Istilah khilafah hanya muncul dua kali dalam Al-Qur’an (QS,2:30 dan 38:26). Meskipun demikian, dalam sejarahnya istilah khilafah rasul Allah (penerus Rasul Allah), yang dalam hal ini dinisbatkan kepada Abu Bakar tidak digunakannya sebagai gelarnya. Akan tetapi, peran khalifah bukanlah seperti peran Nabi Muhammad yang disebut sebagai penerima wahyu dan sebagai rasul Allah. Dari sisi keagamaan, seorang khalifah hanyalah seorang pemelihara iman yang bertugas mempertahankan keimanan, juga mempunyai kewajiban dalam menghilangkan bidah, memerangi orang-orang kafir, dan memperluas wilayah negeri Islam
Istilah khalifah ini juga bukan merupakan bentuk kerajaan, tetapi merupakan bentuk republik yang mempunyai arti kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Hal ini diketahui dari pemilihan keempat khalifah yang kemudian disebut khulafaur rasyidin yaitu Abu Bakar As-syidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah sahabat Nabi dan hubungan mereka juga merupakan hubungan persahabatan dengan Nabi Muhammad.
Dalam hal pengangkatan khalifah, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah berdasarkan atas permufakatan pemuka-pemuka Ansar dan Muhajirin dalam Rapat Saqifah di Madinah. Pengangkatan itu kemudian mendapat persetujuan dan pengakuan umat, yang istilah Arabnya disebut bay’ah. Kemudian khalifah yang kedua adalah Umar, beliau diangkat sebagai khalifah berdasarkan atas penunjukan oleh Abu Bakar sebagai penerusnya dan diriwayatkan pernah menggunakan gelar khalifah-khalifah (penerus penerus) Rasul Allah. Tetapi karena terdengar terlalu panjang akhirnya diperpendek. Khalifah Umar dinobatkan sebagai khalifah pertama yang sekaligus memangku jabatan sebagai panglima tertinggi pasukan Islam, dengan gelar khusus amir al-mukminin (panglima orang yang beriman). Khalifah yang ketiga adalah Usman Bin Affan. Secara historis, kekhalifahan Usman, yang dinobatkan sebagai khalifah setelah Umar pada tahun 664 M, atau sekitar abad ke-7 M ini terpilih berdasarkan pada senioritas kesukuannya dan rapat enam sahabat. Kekhalifahan selanjutnya yaitu khalifah Ali Bin Abi Thalib, beliau adalah sepupu Nabi Muhammad sekaligus menjadi menantunya setelah menikah dengan Fatimah Az-Zahra. Dan Ali sendiri dinobatkan sebagai khalifah yang keempat pada tanggal 24 Juni 656 M, yang bertempat di masjid Nabawi di Madinah. Sistem pembaiatan Ali sendiri berbeda dari yang lain, dimana hanya dilakukan oleh sebagian sahabat nabi saja. Meskipun demikian, para pendukung Ali beranggapan bahwa sejak awal, Allah dan Rasulnya telah dengan jelas mengangkat Ali sebagai satu satunya penerus yang sah.
Persoalan kekhalifahan dalam Islam terus menjadi perdebatan di kalangan umat Islam dari waktu ke waktu terutama setelah berakhirnya era khulafa’ ar-rasyidun. Masing-masing kelompok mengemukakan beragam argumen mereka untuk menguatkan apa yang mereka ungkapkan. Untuk itu, sejarah mencatat bahwa setidaknya terdapat tiga kelompok dalam Islam yang mengungkapkan pendirian mereka tentang kekhalifahan dalam Islam. Ketiga kelompok tersebut adalah kaum Fundamentalis, Modernis atau Liberal, dan Nasionalis. Tulisan berikut akan mencoba mengupas pandangan kelompok modernis dalam menyikapi kekhalifahan dalam Islam.
B. Khilafah Menurut Kalangan Modernis
Bila kita berbicara tentang kaum modernis, kita mungkin akan tertuju pada suatu zaman yang sudah pasti berbeda dengan zaman sebelumnya dalam segi apapun. Baik dari segi sistem pemerintahan, politik, ekonomi, bahkan budaya. Dan seperti yang kita tahu bahwa masa modern atau kemodernan itu secara garis besar dimulai pada tahun 1800M, atau sekitar abad 18M. Sebelumnya, seperti yang kita tahu bahwa sistem pemerintahan dan segala aspeknya berlandaskan kepada syari’at Islam yang sangat mendominasi segala aspek kehidupan atau lebih kita kenal dengan sebutan khilafah.
Pada sesi ini setelah kita tahu dengan jelas akan apa itu khilafah, dan sekarang kita akan membahas tentang bagaimana Khilafah itu sendiri menurut/perspektif kaum modernis. Pada saat ini kita sering menjumpai perdebatan yang mempermasalahkan tentang hubungan antara agama (Islam) dan negara yang masih tetap terjadi dalam berbagai intensitas. Dari wacana tersebut di atas memunculkan dan menciptakan dikotomi dalam kelompok-kelompok muslim dan pemikir-pemikirnya. Kelompok yang berpendapat akan pentingnya khilafah atau sistem pemerintahan Islam sering kita sebut dengan fundamentalis atau garis keras, sedangkan kaum yang tidak menganggap penting akan hal itu adalah modernis atau liberal, dan nasionalis. Sebenarnya dari perdebatan beberapa kaum di atas yang menjadi persoalan adalah seputar institusi Khilafah Islam, sedangkan maksud dari khilafah itu sendiri adalah keyakinan bahwa kekuasaan agama dan politik harus disatukan dalam suatu pemerintahan.
Kaum fundamentalis sendiri yang masih terus mengagungkan akan adanya khilafah berbasis pada keterpaduan Din wa Daulah yang didasarkan pada ayat Al-Qur’an seperti surat An-Nisa’ 4:59. Tentang perintah taat kepada Allah, Rasulnya, dan orang orang yang berkuasa di antara kamu. Dan sebagai contoh dari kelompok dan pemikir yang mengagungkan akan khilafah adalah Ayatullah Khomaeni yang sukses dengan Revolusi Islam di Iran, serta Hasan Al-Banna yang mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir dan berkembang ke seluruh penjuru dunia.
Berbeda secara kontras dengan pendapat-pendapat di atas adalah pendapat mereka yang meyakini bahwa pelibatan ke politik yang terlalu dalam dapat menyesatkan atau merusak orang-orang beriman. Contoh kelompok ini adalah kelompok Jama’ah Tabligh, sebuah gerakan reformasi penting yang bermula dari Asia Selatan dan sudah memiliki pengaruh mendunia. Dalam keyakinan kelompok ini pemisahan agama dan politik diperlukan dalam jangka pendek. Secara implisit mereka mengkritik pencarian kekuasaan politik sebagaimana dilakukan oleh kelompok Muslimin lain. Sebagai wakil Allah (khalifah) dikaruniai bumi untuk diurus, tetapi itu tidak patut jika mereka tidak dapat mengurus mereka sendiri, oleh karena itu mereka harus menghindari politik sampai mereka bisa membuktikan diri mereka layak jadi makhluk politik.
Perspektif yang lain, tapi mempunyai kesamaan dalam pandangan a politik, adalah pemikiran yang melihat Islam hanyalah ritual dan bahwa politk harus dipisahkan dari agama. Perspektif semacam ini muncul dari kalangan ummat Islam dari berbagai golongan. Contoh yang mencolok adalah pendapat para panglima militer di zaman Khalifah Abbasiyah Al-Nasir yang menolak konsep Imam sebagai pemimpin agama dan politik. Dalam pandangan ini seorang Imam hanyalah pimpinan spiritual yang bertugas memimpin ritual Islam dan memberi contoh dengan perilaku yang religius pada para pengikutnya. Sedang urusan pemerintahan biarlah tetap berada di tangan para sultan.
Pada masa modern pandangan serupa ini dikemukakan oleh pemimpin dari negara-negara seperti Raja Hussein dari Yordania, Raja Hassan II dari Marokko, Tun Hussein Onn dari Malaysia, Presiden Tunisia Ben Ali, Saddam Husein di Irak dan Muammar Ghaddafi di Libia. Mewakili kelompok ini dapat dikutip pendapat Raja Hassan II dari Maroko yang mengatakan bahwa fundamentalisme (al-Ushuliyah) adalah merupakan penyimpangan agama (as-syudzudz al-dini). Dengan cara yang merendahkan dia mengatakan bahwa para pengikut faham itu sebagai orang-orang yang telah menempatkan diri mereka keluar dari Islam karena manipulasi politik yang mereka lakukan terhadap agama. Menurut Hassan II “kita harus mngambil apa yang dikatakan oleh orang Kristen : tunduklah kepada Tuhan dalam apa yang menjadi hak Tuhan, dan kepada kaisar dalam hal aoa yang menjadi hak kaisar.
Dari kalangan intelektual Islam nama Ali Abdur Raziq, seorang syaikh di Al-Azhar Cairo, dikenal sebagai orang yang mempunyai pandangan tentang pemisahan agama dan politik. Argumentasi adalah bahwa kekuasaan agama dan administratif Nabi adalah terpisah. Pemerintahan Muhammad Rasulullah atas komunitas Muslim Madinah bukanlah bagian dari misi kenabiannya, dan para penerusnya hanyalah meneruskan kekuasaan temporalnya.
Pendapat yang sama dengan berbagai argumen pendukung juga dikemukakan oleh berbagai pemikir Islam lain, seperti Qomaruddin Khan dari India, Fazlur Rahman dari Pakistan, Nur Kholis Madjid dari Indonesia, Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Sa’id Al-Asymawi dari Mesir, dan lain sebagainya. Mewakili kelompok ini dapat disitir pendapat Abdullahi Ahmed An-Na’im, intelektual Sudan yang hijrah ke Amerika. Menurutnya Syari’at harus dijalankan oleh seorang Muslim yang sejati, namu n pelaksanaannya tidak boleh dipaksakan dalam sebuah negara. Dalam pandangannya, negara tidak bisa dipercaya untuk menerapkan syari’at. Memberikan kepercayaan kepada negara untuk memaksakan pelaksanaan syariat akan memberi peluang penyalahgunaan wewenang oleh pemerintahan yang berkuasa. Ketika sebuah kelompok yang berkuasa memberlakukan syariat, maka yang dilaksanakan sesungguhnya adalah pemahaman dan interpretasi mereka terhadap syariat yang belum tentu sama dengan pemahaman dan interpretasi kelompok lain di dalam Islam. Karena itu, ketika salah satu kelompok berkuasa maka ia akan merepresi kelompok lain dengan mengatas namakan agama dan tidak memungkinkan terjadinya oposisi.
Islam, kata Na’im, merupakan agama yang sangat demokratis, tidak mengenal hierarkhi, dan memberikan tanggung jawab kepada setiap individu untuk melaksanakan ajaran Islam. Bahkan ketika ia mengikuti seseorang, ia memutuskan secara individu.
Beberapa kalangan seperti Ali Engineer beranggapan bahwa tidak ada konsep baku tentang negara Islam, apalagi yang bersifat ilahiah dan kekal. Al-Qur’an hanya menjelaskan konsep tentang masyarakat, bukan tentang negara. Teori negara Islam mengalami proses perubahan dan cenderung menyesuaikan diri terhadap situasi kongkrit, bukannya terhadap keadaa tertentu. Dalam urusan kenegaraan, Rasulullah SAW sendiri menempuh cara yang paling pragmatik dengan tidak mengabaikan situasi kongkrit. Tentu saja cara yang beliau tempuh acapkali didukung oleh wahyu Ilahi, tapi tidak selalu.
Menurut Jalaluddin Rahmat (1998) persoalan demokrasi dan Islam adalah persoalan kategorisasi yang berbeda. Islam, sebagaimana agama lain, adalah kategori agama. Sementara demokrasi, liberal atau otoriter adalah kategori politik. Karena berbeda maka tidak tepat untuk menghubungkankeduanya. Yang lebih relevan adalah adalah mempersoalkan pemikiran ummar Islam mengenai demokrasi, dan implementasi prinsip-prinsip demokrasi di negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Pandangan yang sedikit berbeda dari varian-varian tersebut adalah yang dikemukan oleh Kuntowijoyo (1997) tentang posisi agama dan negara. Menurut Kunto agama dan negara adalah merupakan dua satuan sejarah yang berbeda hakikatnya. Agama adalah pembawa berita gembira dan peringatan (basyiron wa nasziron), sedang negara adalah kekuatan pemaksa (coercion).
Agama dapat mempengaruhi jalannya sejarah dengan melalui kesadaran bersama (collective conscience), negara mempengaruhi sejarah dengan keputusan, kekuasaan dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam dan negara adalah kekuatan dari luar. Agama seringkali menjadi penunjang politik dengan memberikan legitimasi kepada negara, partai politik dan perseorangan. Legitimasi kepada negara sudah lama diberikan, yang dapat dilihat dari babad-babad. Dalam perkembangannya hubungan agama sering turun naik, dan akhirnya banyak orang yang hanya melihat agama sebagai ritual.
C. Kesimpulan dan Penutup.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam memahami khilafah terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Kaum Fundamentalis menganggap bahwa khilafah harus ditegakkan secara utuh, sedangkan kaum Modernis atau liberal, dan kaum Nasionalis menganggap bahwa khilafah tidak harus didirikan, karena adalah urusan pribadi masing-masing atau pemisahan antara agama dan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Eickelman, Dale F. and James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, 1996, Bandung: Mizan.
Kuntowijiyo, Enam Alasan untuk Tidak Mendirikan Parpol Islam, dalam Memilih Partai Islam, 1998, Jakarta: GIP.
_________, Identitas Politik Ummat Islam, 1997, Bandung: Mizan.
Hitti, Philips K., History of the Arabs, 2005, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 2001, Jakarta: UI Press.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, 2006, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar: